PENDIDIKAN

Pendidikan sebagai investasi SDM
DUNIA dan AKHIRAT

Rabu, November 27, 2013

Memaknai Pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang Pendidikan



Memaknai Pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang Pendidikan
Ki Gunawan
BANGSA kita adalah bangsa pemimpi, kata Totok Amin Soefijanto (Kompas, 26/5), dan telah tidur sejak 1913 sambil memimpikan pendidikan sebagai obat mujarab untuk semua penyakit yang ada di masyarakat. Setidak-tidaknya Totok Amin Soefijanto benar saat menyebut kelalaian (atau malah kemahiran kita?) dalam memilih obat yang salah dalam memecahkan masalah bangsa.
Namun, saat mengurai persoalan bangsa dengan fokus pemikiran Ki Hadjar Dewantara (KHD), sekurangnya ada tiga hal yang memerlukan koreksi.
Pertama, kesimpulannya terhadap KHD pada 1913 Als ik eens Nederlander was (bukan Is Ik Nederlander was) yang dimuat dalam brosur yang diterbitkan Comite tot herdenking van Nederlandsch Honderdjarige Vrijheid atau "Komite Bumiputera" dan buku Onze Verbanning (bukan media Belanda De Express-mungkin maksudnya De Expres, media berbahasa Belanda yang amat kritis terhadap Pemerintah Kolonial Belanda, yang diasuh di antaranya oleh kaum nasionalis seperti dr EFE Douwes Dekker, seorang Indo Belanda yang sangat bersimpati kepada kaum nasionalis, dr Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Surjaningrat/KHD) sebagai tonggak dimulainya "masa tidur panjang" bangsa kita.
Kedua, merangkaikan begitu saja pemikiran KHD pada masa aktif dalam bidang politik melalui Boedi Oetomo dan terutama melalui kegiatan jurnalistik, pada 1908-1922 dengan pemikiran KHD setelah itu yang mulai beralih ke bidang pendidikan. Ketiga, kekeliruannya menafsirkan konsepsi KHD tentang pendidikan karena hanya menyorot secara sepotong-sepotong, khususnya tentang "metode Among" dengan trilogi kepemimpinannya (Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tutwuri Handayani) sehingga justru mengaburkan gagasan awalnya sendiri tentang rekonstruksi pemikiran KHD.
TULISAN KHD dalam brosur walaupun berjudul Seandainya Aku Seorang Belanda (Als ik eens Nederlander was) bukanlah cermin dari angan-angan atau mimpi KHD. Tulisan itu justru merupakan sindiran halus yang nyelekit terhadap Pemerintah Kolonial Belanda yang tengah merancang perayaan satu abad kemerdekaan negerinya secara besar-besaran di negara yang dijajahnya dengan memungut biaya dari rakyat bangsa yang dijajahnya.
Coba simak penggalan dari tulisan itu yang diterjemahkan KHD sendiri: ... Andai aku seorang Nederlander, tidaklah aku akan merayakan kemerdekaan bangsaku di negeri yang rakyatnya tidak kita besar kemerdekaan.... Dengan tidak sadar seolah-olah kita berteriak-teriak: 'lihatlah hai orang-orang, bagaimana kita memperingati kemerdekaan kita; cintailah kemerdekaan, karena sungguh bahagialah rakyat yang merdeka, lepas dari penjajahan!'.... kemudian... Sungguh, seandainya aku seorang Nederlander, tidaklah aku akan merayakan peringatan kemerdekaan di negeri yang masih terjajah. Lebih dahulu berilah kemerdekaan kepada rakyat yang masih kita kuasai, barulah boleh orang memperingati kemerdekaannya sendiri. Penggalan itu sama sekali tidak menunjukkan KHD sedang berandai-andai sebagai seorang Belanda yang berniat memberikan kemerdekaan kepada tanah jajahannya. Yang tampak justru sebuah sindiran halus yang tajam dan nyelekit tentang ketidakpantasan sikap orang-orang Belanda yang berniat merayakan kemerdekaannya dengan melibatkan rakyat Hindia Belanda (baca: Indonesia) bahkan dengan memungut sumbangan dari rakyat.
Tentang tulisan itu, Prof Dr Sardjito, dalam pidato pemberian gelar doktor honoris causa kepada KHD menilai, karya itu merupakan wujud ketangkasan menulis dalam menyerang pihak Belanda. Menurut Prof Dr Sardjito, tamparan yang amat hebat itu dilakukan secara tidak kasar, tidak dengan memaki-maki, senantiasa tetap sebagai ksatria, memberi kata-kata yang tepat, jitu, indah susunannya, ada humornya, ada sinisnya, tercampur dengan ejekan yang pedas yang dilemparkan kepada si penjajah, tetapi selanjutnya juga memberikan pandangan-pandangan yang dapat direnungkan untuk pihak sana, dan juga untuk pihak kita.
Dari tulisan-tulisan KHD yang terhimpun di berbagai literatur, dengan mudah kita dapat menangkap gaya KHD dalam mengekspresikan pemikirannya yang sama sekali jauh dari sikap seorang pemimpi yang putus asa. Als ik eens Nederlander was yang menyebabkan KHD dibuang ke Belanda pada 1913 itu rasanya tidak tepat disebut sebagai awal bangsa kita tidur.
SISTEM Among dengan trilogi kepemimpinannya sebagai salah satu konsepsi pendidikan KHD bukanlah konsepsi yang muncul tiba-tiba dan dipasarkan melalui Boedi Oetomo (KHD menjadi anggota Boedi Oetomo hanya pada 1908) pada masa KHD aktif di dunia politik (1908-1922) karena KHD baru secara intens menggeluti pemikiran tentang pendidikan justru dalam masa pembuangannya di negeri Belanda (1913-1919). Di Belanda, selain tetap aktif dalam bidang politik, KHD menambah pengetahuannya dalam bidang pendidikan dan mendapat akta guru pada 1915.
Di Belanda pula KHD mulai berkenalan dengan gagasan- gagasan tokoh-tokoh pendidikan dunia seperti JJ Rousseau, Dr Frobel, dr Montessori, Rabindranath Tagore, John Dewey, dan Kerschensteiner. Tokoh yang pemikirannya tampak sangat mempengaruhi KHD adalah Frobel dengan pendidikan anak-anaknya yang menekankan pengembangan angan-angan anak-anak untuk mengajarkan anak-anak berpikir melalui permainan, kemudian Montessori yang mengutamakan pelatihan pancaindra untuk mengembangkan tabiat dan kekuatan jiwa anak dan Rabindranath Tagore yang mengutamakan pengembangan kepribadian anak. Gagasan-gagasannya tentang pendidikan mulai berkembang dan baru mulai 1922 dipraktikkan KHD di Tamansiswa.
Dengan tegas KHD menolak penerapan konsepsi regeering, tucht, en orde (paksaan, hukuman, dan ketertiban) dalam pendidikan yang menempatkan guru sebagai figur sentral dan siswa sebagai obyek. KHD mengenalkan konsepsi orde en vrede (tertib dan damai) sebagai dasar pendidikan dengan bertumpu kepada prinsip bertumbuh menurut kodrat. Menurut KHD, yang dipakai sebagai alat pendidikan adalah pemeliharaan dengan sebesar-besarnya perhatian untuk memperoleh tumbuhnya hidup anak lahir dan batin menurut kodratnya sendiri. Dan, inilah yang disebut sebagai metode Among dengan Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tutwuri Handayani yang diterapkan di Tamansiswa sejak 1922.
MENEMPELKAN anak sebagai figur sentral dalam pendidikan dengan memberikan kemerdekaan sepenuh-penuhnya untuk berkembang itulah ide dasar pengembangan konsepsi KHD. Guru hanya membimbing dari belakang dan baru mengingatkan anak kalau sekiranya mengarah kepada suatu tindakan yang membahayakan (tutwuri handayani) sambil terus membangkitkan semangat dan memberikan motivasi (ing madya mangun karsa) dan selalu menjadi contoh dalam perilaku dan ucapannya (ing ngarsa sung tuladha).
Persoalannya, sekarang ini sering kali guru menjadikan dirinya otoritas yang paling berkuasa dalam proses pendidikan sehingga alih-alih membangkitkan semangat malah justru memasung kreativitas. Sangat banyak guru, baik dalam arti sempit/sebenarnya maupun dalam arti luas, justru berperilaku yang tak pantas untuk diteladani.
Berbeda dengan pandangan Totok AS yang menyebut bahwa yang sekarang dipakai hanyalah Ing ngarsa sung tuladha, menurut hemat saya sekarang ini justru tidak satu pun dari konsepsi KHD yang diterapkan di lapangan. Kerja guru sekarang ini tampak semakin mekanis dan hampir tak berjiwa lagi karena diburu target kurikulum dan target kehidupan yang semakin tinggi tuntutannya. Pendidikan pun sudah secara pasti berganti baju menjadi sekadar pengajaran yang bersifat intelektualistik.
Bagaimanapun saya setuju bila terhadap konsepsi-konsepsi KHD perlu dilakukan kajian ilmiah agar dengan mudah dipelajari dan dipahami. Akan tetapi, betapa indahnya pun sebuah konsepsi, tanpa praktik yang benar dan sungguh-sungguh, hasilnya pasti akan mengecewakan. Dan, memang pada akhirnya kita hanya akan menjadi bangsa pemimpi dengan segudang persoalan yang tak pernah terselesaikan.
Ki Gunawan Panitera Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, Tinggal di Yogyakarta.