Memaknai
Pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang Pendidikan
Ki Gunawan
BANGSA kita adalah bangsa pemimpi, kata Totok Amin Soefijanto (Kompas,
26/5), dan telah tidur sejak 1913 sambil memimpikan pendidikan sebagai obat
mujarab untuk semua penyakit yang ada di masyarakat. Setidak-tidaknya Totok
Amin Soefijanto benar saat menyebut kelalaian (atau malah kemahiran kita?)
dalam memilih obat yang salah dalam memecahkan masalah bangsa.
Namun, saat mengurai persoalan bangsa dengan fokus pemikiran Ki Hadjar
Dewantara (KHD), sekurangnya ada tiga hal yang memerlukan koreksi.
Pertama, kesimpulannya terhadap KHD pada 1913 Als ik eens Nederlander
was (bukan Is Ik Nederlander was) yang dimuat dalam brosur yang diterbitkan
Comite tot herdenking van Nederlandsch Honderdjarige Vrijheid atau "Komite
Bumiputera" dan buku Onze Verbanning (bukan media Belanda De Express-mungkin
maksudnya De Expres, media berbahasa Belanda yang amat kritis terhadap
Pemerintah Kolonial Belanda, yang diasuh di antaranya oleh kaum nasionalis
seperti dr EFE Douwes Dekker, seorang Indo Belanda yang sangat bersimpati
kepada kaum nasionalis, dr Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Surjaningrat/KHD)
sebagai tonggak dimulainya "masa tidur panjang" bangsa kita.
Kedua, merangkaikan begitu saja pemikiran KHD pada masa aktif dalam
bidang politik melalui Boedi Oetomo dan terutama melalui kegiatan jurnalistik,
pada 1908-1922 dengan pemikiran KHD setelah itu yang mulai beralih ke bidang
pendidikan. Ketiga, kekeliruannya menafsirkan konsepsi KHD tentang pendidikan
karena hanya menyorot secara sepotong-sepotong, khususnya tentang "metode
Among" dengan trilogi kepemimpinannya (Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya
mangun karsa, Tutwuri Handayani) sehingga justru mengaburkan gagasan awalnya
sendiri tentang rekonstruksi pemikiran KHD.
TULISAN KHD dalam brosur walaupun berjudul Seandainya Aku Seorang
Belanda (Als ik eens Nederlander was) bukanlah cermin dari angan-angan atau
mimpi KHD. Tulisan itu justru merupakan sindiran halus yang nyelekit terhadap
Pemerintah Kolonial Belanda yang tengah merancang perayaan satu abad
kemerdekaan negerinya secara besar-besaran di negara yang dijajahnya dengan
memungut biaya dari rakyat bangsa yang dijajahnya.
Coba simak penggalan dari tulisan itu yang diterjemahkan KHD sendiri:
... Andai aku seorang Nederlander, tidaklah aku akan merayakan kemerdekaan
bangsaku di negeri yang rakyatnya tidak kita besar kemerdekaan.... Dengan tidak
sadar seolah-olah kita berteriak-teriak: 'lihatlah hai orang-orang, bagaimana
kita memperingati kemerdekaan kita; cintailah kemerdekaan, karena sungguh
bahagialah rakyat yang merdeka, lepas dari penjajahan!'.... kemudian...
Sungguh, seandainya aku seorang Nederlander, tidaklah aku akan merayakan
peringatan kemerdekaan di negeri yang masih terjajah. Lebih dahulu berilah
kemerdekaan kepada rakyat yang masih kita kuasai, barulah boleh orang
memperingati kemerdekaannya sendiri. Penggalan itu sama sekali tidak
menunjukkan KHD sedang berandai-andai sebagai seorang Belanda yang berniat
memberikan kemerdekaan kepada tanah jajahannya. Yang tampak justru sebuah
sindiran halus yang tajam dan nyelekit tentang ketidakpantasan sikap
orang-orang Belanda yang berniat merayakan kemerdekaannya dengan melibatkan
rakyat Hindia Belanda (baca: Indonesia) bahkan dengan memungut sumbangan dari
rakyat.
Tentang tulisan itu, Prof Dr Sardjito, dalam pidato pemberian gelar
doktor honoris causa kepada KHD menilai, karya itu merupakan wujud ketangkasan
menulis dalam menyerang pihak Belanda. Menurut Prof Dr Sardjito, tamparan yang
amat hebat itu dilakukan secara tidak kasar, tidak dengan memaki-maki,
senantiasa tetap sebagai ksatria, memberi kata-kata yang tepat, jitu, indah
susunannya, ada humornya, ada sinisnya, tercampur dengan ejekan yang pedas yang
dilemparkan kepada si penjajah, tetapi selanjutnya juga memberikan
pandangan-pandangan yang dapat direnungkan untuk pihak sana, dan juga untuk
pihak kita.
Dari tulisan-tulisan KHD yang terhimpun di berbagai literatur, dengan
mudah kita dapat menangkap gaya KHD dalam mengekspresikan pemikirannya yang
sama sekali jauh dari sikap seorang pemimpi yang putus asa. Als ik eens
Nederlander was yang menyebabkan KHD dibuang ke Belanda pada 1913 itu rasanya
tidak tepat disebut sebagai awal bangsa kita tidur.
SISTEM Among dengan trilogi kepemimpinannya sebagai salah satu konsepsi
pendidikan KHD bukanlah konsepsi yang muncul tiba-tiba dan dipasarkan melalui
Boedi Oetomo (KHD menjadi anggota Boedi Oetomo hanya pada 1908) pada masa KHD
aktif di dunia politik (1908-1922) karena KHD baru secara intens menggeluti
pemikiran tentang pendidikan justru dalam masa pembuangannya di negeri Belanda
(1913-1919). Di Belanda, selain tetap aktif dalam bidang politik, KHD menambah
pengetahuannya dalam bidang pendidikan dan mendapat akta guru pada 1915.
Di Belanda pula KHD mulai berkenalan dengan gagasan- gagasan tokoh-tokoh
pendidikan dunia seperti JJ Rousseau, Dr Frobel, dr Montessori, Rabindranath
Tagore, John Dewey, dan Kerschensteiner. Tokoh yang pemikirannya tampak sangat
mempengaruhi KHD adalah Frobel dengan pendidikan anak-anaknya yang menekankan
pengembangan angan-angan anak-anak untuk mengajarkan anak-anak berpikir melalui
permainan, kemudian Montessori yang mengutamakan pelatihan pancaindra untuk
mengembangkan tabiat dan kekuatan jiwa anak dan Rabindranath Tagore yang
mengutamakan pengembangan kepribadian anak. Gagasan-gagasannya tentang
pendidikan mulai berkembang dan baru mulai 1922 dipraktikkan KHD di Tamansiswa.
Dengan tegas KHD menolak penerapan konsepsi regeering, tucht, en orde
(paksaan, hukuman, dan ketertiban) dalam pendidikan yang menempatkan guru
sebagai figur sentral dan siswa sebagai obyek. KHD mengenalkan konsepsi orde en
vrede (tertib dan damai) sebagai dasar pendidikan dengan bertumpu kepada
prinsip bertumbuh menurut kodrat. Menurut KHD, yang dipakai sebagai alat
pendidikan adalah pemeliharaan dengan sebesar-besarnya perhatian untuk
memperoleh tumbuhnya hidup anak lahir dan batin menurut kodratnya sendiri. Dan,
inilah yang disebut sebagai metode Among dengan Ing ngarsa sung tuladha, Ing
madya mangun karsa, Tutwuri Handayani yang diterapkan di Tamansiswa sejak 1922.
MENEMPELKAN anak sebagai figur sentral dalam pendidikan dengan
memberikan kemerdekaan sepenuh-penuhnya untuk berkembang itulah ide dasar
pengembangan konsepsi KHD. Guru hanya membimbing dari belakang dan baru
mengingatkan anak kalau sekiranya mengarah kepada suatu tindakan yang
membahayakan (tutwuri handayani) sambil terus membangkitkan semangat dan
memberikan motivasi (ing madya mangun karsa) dan selalu menjadi contoh dalam
perilaku dan ucapannya (ing ngarsa sung tuladha).
Persoalannya, sekarang ini sering kali guru menjadikan dirinya otoritas
yang paling berkuasa dalam proses pendidikan sehingga alih-alih membangkitkan
semangat malah justru memasung kreativitas. Sangat banyak guru, baik dalam arti
sempit/sebenarnya maupun dalam arti luas, justru berperilaku yang tak pantas
untuk diteladani.
Berbeda dengan pandangan Totok AS yang menyebut bahwa yang sekarang
dipakai hanyalah Ing ngarsa sung tuladha, menurut hemat saya sekarang ini
justru tidak satu pun dari konsepsi KHD yang diterapkan di lapangan. Kerja guru
sekarang ini tampak semakin mekanis dan hampir tak berjiwa lagi karena diburu
target kurikulum dan target kehidupan yang semakin tinggi tuntutannya.
Pendidikan pun sudah secara pasti berganti baju menjadi sekadar pengajaran yang
bersifat intelektualistik.
Bagaimanapun saya setuju bila terhadap konsepsi-konsepsi KHD perlu
dilakukan kajian ilmiah agar dengan mudah dipelajari dan dipahami. Akan tetapi,
betapa indahnya pun sebuah konsepsi, tanpa praktik yang benar dan
sungguh-sungguh, hasilnya pasti akan mengecewakan. Dan, memang pada akhirnya
kita hanya akan menjadi bangsa pemimpi dengan segudang persoalan yang tak
pernah terselesaikan.
Ki Gunawan Panitera Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, Tinggal di Yogyakarta.